Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia mengalami perjalanan politik yang penuh dinamika. Masa-masa awal kemerdekaan ditandai dengan perjuangan mempertahankan kedaulatan dari Belanda, yang puncaknya terjadi setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949. Hasil KMB melahirkan Republik Indonesia Serikat (RIS), yang kemudian tidak bertahan lama dan berubah kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 17 Agustus 1950. Sejak saat itu, Indonesia memasuki era yang disebut Demokrasi Liberal (1950–1959).
Sistem ini dinamakan “liberal” karena meniru model demokrasi parlementer Barat yang menekankan kebebasan politik, multipartai, dan kekuasaan legislatif yang kuat. Namun, praktik demokrasi liberal di Indonesia berjalan dengan penuh gejolak. Meskipun memberikan ruang kebebasan berpolitik, masa ini juga diwarnai oleh instabilitas kabinet, konflik ideologi, hingga ketidakmampuan melahirkan pemerintahan yang stabil.
Latar Belakang Munculnya Demokrasi Liberal
Dari RIS ke NKRI
Setelah KMB, Indonesia berbentuk negara federal dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS). Bentuk negara ini dianggap sebagai “warisan Belanda” yang bertujuan melemahkan persatuan bangsa. Banyak daerah kemudian menolak bentuk federal dan bergabung dengan Republik Indonesia (Yogyakarta). Akhirnya, pada 17 Agustus 1950, RIS dibubarkan dan Indonesia kembali ke bentuk negara kesatuan.
Konstitusi Sementara 1950
Pembubaran RIS diikuti dengan lahirnya Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. Konstitusi ini menganut sistem demokrasi parlementer, di mana presiden hanya berperan sebagai kepala negara, sedangkan pemerintahan dijalankan oleh perdana menteri yang bertanggung jawab kepada parlemen. Inilah dasar dari praktik demokrasi liberal di Indonesia.
Ciri-Ciri Demokrasi Liberal di Indonesia
-
Sistem Multipartai
Pada masa ini, terdapat lebih dari 30 partai politik yang ikut serta dalam pemilu maupun membentuk kabinet. Hal ini menyebabkan sulitnya mencapai stabilitas pemerintahan. -
Kabinet Parlementer
Pemerintahan dipimpin oleh perdana menteri yang bertanggung jawab kepada parlemen (DPR). Jika kabinet kehilangan dukungan mayoritas, maka kabinet harus mengundurkan diri. -
Kebebasan Politik
Pers dan partai politik berkembang pesat. Rakyat bebas menyampaikan aspirasi, meski kadang justru menimbulkan perpecahan ideologi. -
Dominasi Parlemen
Kekuasaan eksekutif sangat bergantung pada dukungan legislatif. Presiden tidak memiliki kekuasaan besar, hanya berperan sebagai simbol negara.
Dinamika Politik Demokrasi Liberal
Sering Bergantinya Kabinet
Salah satu masalah utama dalam era ini adalah instabilitas kabinet. Hampir setiap tahun terjadi pergantian kabinet karena konflik kepentingan antarpartai. Tercatat ada 7 kabinet dalam kurun 1950–1959:
-
Kabinet Natsir (1950–1951) – gagal melaksanakan program penyederhanaan partai dan mengalami konflik dengan DPR.
-
Kabinet Sukiman (1951–1952) – jatuh karena perjanjian Mutual Security Act (MSA) dengan Amerika Serikat.
-
Kabinet Wilopo (1952–1953) – tumbang akibat peristiwa Tanjung Morawa, konflik antara rakyat dan polisi soal tanah perkebunan.
-
Kabinet Ali Sastroamidjojo I (1953–1955) – berhasil menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung.
-
Kabinet Burhanuddin Harahap (1955–1956) – menyukseskan Pemilu pertama 1955.
-
Kabinet Ali Sastroamidjojo II (1956–1957) – jatuh karena tidak mampu mengatasi krisis ekonomi dan pemberontakan daerah.
-
Kabinet Djuanda (1957–1959) – kabinet “karya” yang mencoba meredam krisis, memperkenalkan Deklarasi Djuanda untuk mempertegas kedaulatan laut Indonesia.
Pemilu 1955: Pemilu Pertama di Indonesia
Pemilu 1955 menjadi tonggak penting dalam sejarah demokrasi Indonesia. Pemilu ini dilaksanakan untuk memilih anggota DPR dan Konstituante. Hasil pemilu menunjukkan empat partai besar dengan kekuatan seimbang:
-
PNI (Partai Nasional Indonesia)
-
Masyumi
-
NU (Nahdlatul Ulama)
-
PKI (Partai Komunis Indonesia)
Tidak ada partai yang meraih mayoritas mutlak, sehingga koalisi antarpartai menjadi keniscayaan. Namun, perbedaan ideologi membuat koalisi mudah pecah.
Konstituante dan Kebuntuan Politik
Konstituante dibentuk untuk menyusun konstitusi baru pengganti UUDS 1950. Namun, perdebatan ideologis antara kelompok nasionalis, Islam, dan komunis membuat penyusunan konstitusi tidak kunjung selesai. Kebuntuan politik ini memperburuk ketidakstabilan pemerintahan.
Tantangan dalam Demokrasi Liberal
1. Perpecahan Ideologi
Konflik ideologi menjadi faktor utama instabilitas. Nasionalis, Islam, dan komunis saling berebut pengaruh. Hal ini menghambat konsensus politik.
2. Pemberontakan Daerah
Masa demokrasi liberal juga diwarnai pemberontakan daerah, seperti:
-
DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) di Jawa Barat, Sulawesi, Aceh, dan Kalimantan.
-
PRRI/Permesta (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia / Perjuangan Rakyat Semesta) di Sumatera dan Sulawesi.
Pemberontakan ini muncul karena ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat yang dianggap tidak adil dalam distribusi kekuasaan dan ekonomi.
3. Krisis Ekonomi
Ekonomi Indonesia pada masa ini tidak stabil. Inflasi tinggi, pengangguran meningkat, dan ketergantungan pada ekspor hasil bumi membuat ekonomi rapuh. Kabinet yang sering berganti membuat kebijakan ekonomi tidak konsisten.
4. Lemahnya Kepemimpinan Nasional
Presiden Soekarno hanya berperan sebagai kepala negara, sementara kepala pemerintahan sering berganti. Tidak adanya figur pemersatu membuat bangsa Indonesia kehilangan arah.
Berakhirnya Demokrasi Liberal
Kebuntuan politik di Konstituante dan instabilitas pemerintahan membuat Presiden Soekarno berinisiatif mengakhiri sistem demokrasi liberal. Pada 5 Juli 1959, ia mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang berisi:
-
Pembubaran Konstituante.
-
Kembali ke UUD 1945.
-
Pembentukan MPRS dan DPAS.
Dekrit ini menandai berakhirnya era demokrasi liberal dan dimulainya era Demokrasi Terpimpin.
Dampak Demokrasi Liberal
Dampak Positif
-
Menjadi pengalaman demokrasi pertama Indonesia yang membuka ruang kebebasan politik.
-
Melahirkan Pemilu pertama yang demokratis dan relatif jujur.
-
Meningkatkan kesadaran politik rakyat.
-
Menjadi laboratorium demokrasi yang memperlihatkan dinamika politik bangsa.
Dampak Negatif
-
Instabilitas politik akibat sering bergantinya kabinet.
-
Kebijakan pembangunan tidak berjalan konsisten.
-
Munculnya pemberontakan daerah.
-
Ekonomi stagnan dan penuh krisis.
Analisis Kritis: Mengapa Demokrasi Liberal Gagal?
Beberapa faktor utama kegagalan demokrasi liberal di Indonesia antara lain:
-
Sistem Multipartai yang Terlalu Banyak – menyebabkan koalisi rapuh dan kabinet mudah jatuh.
-
Belum Matangnya Budaya Politik – partai lebih mementingkan ideologi dan kepentingan kelompok daripada kepentingan nasional.
-
Tidak Sesuai dengan Karakter Bangsa – sistem parlementer yang sangat liberal kurang cocok diterapkan di Indonesia yang masih berproses membangun identitas politik.
-
Ketidakadilan Ekonomi dan Sosial – distribusi pembangunan tidak merata memicu pemberontakan.
Masa Demokrasi Liberal (1950–1959) adalah periode penting dalam sejarah Indonesia. Meskipun gagal menciptakan stabilitas politik, era ini memberi pengalaman berharga tentang praktik demokrasi. Pemilu 1955 menjadi warisan monumental yang menunjukkan bahwa Indonesia mampu menyelenggarakan pemilu secara demokratis. Namun, pelajaran paling penting adalah bahwa demokrasi tidak hanya membutuhkan sistem, tetapi juga budaya politik, stabilitas ekonomi, dan kepemimpinan nasional yang kuat.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 memang menutup era demokrasi liberal, tetapi pengalaman tersebut tetap menjadi cermin bagi perjalanan demokrasi Indonesia hingga kini.